Menyambung Garis

Kamu berjalan dua langkah di depanku. Tanganmu terayun pelan mengikuti gerak tubuhmu. Dulu, aku bisa dengan bebas menangkap tangan itu, menyimpannya erat dalam genggamanku. Lalu wajahmu akan merah padam memandangku ragu-ragu, malu-malu, takut-takut, sebelum menarik tanganmu kembali. Sebentar saja memang, tapi bisa kurasakan telapak tangan yang putih itu, seperti porselain.

Kamu masih ragu-ragu, malu-malu, takut-takut memandangku. Seperti saat ini, dua langkah di depanku, kamu berbalik. Kedua bola mata berwarna coklat itu mengirimkan sihir. Aku terpaku. Jangan sampai kamu tersenyum, bisa saja aku mati mendadak karenanya. Sudah, sudah, jangan tersenyum. Tapi kamu tersenyum. Bibirmu merah muda tanpa pewarna melengkung di bawah hidungmu yang bangir. Kamu secantik boneka.

Sepoi, angin menghembus kerudungmu yang panjang. Aku terpaku. Continue reading

Ibu, Kamu Datang Begitu Terlambat

Aku mengenal ibu-ibu yang dengan bangga hati memamerkan anak-anak mereka; melalui foto-foto yang mereka tunjukkan, melalui obrolan panjang pada pertemuan-pertemuan, melalui setiap kesempatan dan cara yang memungkinkan.

“Anakku sudah bisa merangkak, lho…”

“Wah, anakku kemarin mbikin banjir rumah, kran air dibiarkan terbuka… Haha… “

“Anakku pintar, dia bisa meniru artis di televisi.. “

Perihal-perihal enteng seperti merangkak, membiarkan kran air terbuka, atau meniru artis di televisi menjadi sangat penting bagi ibu-ibu yang membanggakan anak-anak mereka itu. Continue reading

Membaca “Menunggu Pulang” Karya Suryawan Wahyu Prasetyo: Rumah Dengan Banyak Pintu

Image

Semua orang punya definisi tentang “rumah” yang berbeda satu sama lain. Rumah bisa jadi adalah bangunan dengan pintu, jendela dan atap, yang kita tinggali. Rumah kemudian bisa diartikan menjadi bentuk-bentuk yang lebih abstrak; keluarga biologis, teman-teman yang memiliki kesamaan minat, hati seseorang, kenang-kenangan, harapan tentang masa depan. Seperti yang terangkum dalam buku kumpulan cerpen “Menunggu Pulang” karya Suryawan Wahyu Prasetyo atau yang akrab disapa Yuya. Terdapat 18 judul cerita dalam buku ini dan tiap cerita memaknai bentuk rumah, tujuan seseorang untuk pulang, yang berbeda satu sama lain.

Seperti yang dikatakan oleh Yuya, sang penulis, dalam pengantar buku ini bahwa baginya menulis adalah mendokumentasikan, seperti itulah rasanya membaca cerita-cerita dalam buku ini. Tiap cerita terasa begitu dekat, seperti sedang melihat-lihat album foto seseorang, mengintip sebagian dari sejarah hidupnya. Continue reading

Perempuan Yang Sedang Menuju Ke Barat

Seorang perempuan menantang angin laut yang menampar keras-keras wajahnya. Ujung kerudungnya terbang dibawa angin kesana-kemari, ia tampak tak peduli. Rupa-rupanya ia sedang berniat. Pikirannya jauh melampaui pandangannya, jauh melampaui garis lurus yang membelah langit dan laut.

Aku menunggu di belakangnya. Siapa tahu tiba-tiba ia menoleh sebentar, agar bisa ia tahu aku masih duduk-duduk saja di situ, di belakangnya. Tapi tidak. Ia sedang benar-benar berniat.

Aku melihat pengalaman hidup yang ia bawa tumpah ruah, tapi “Ini belum cukup,” begitu katanya.

“Mau ke mana lagi, kau?” tanyaku. Berharap segera mendapat jawaban.

Aku melihat orang-orang yang hidupnya telah ia sentuh, langsung dan tak langsung, bertatap muka atau hanya lewat tulisan-tulisannya yang melayang-layang di dunia maya. “Aku akan bertemu lebih banyak orang lagi,” begitu katanya, “akan kualami sendiri cerita-cerita yang mungkin mereka alami.” Continue reading

Karamina

Namaku Karamina. Cantik ya? Ibu bilang, diambil dari nama teman lamanya yang ia sudah lama tak jumpa. Sebentar mereka kenal, berteman, dan tidak terlalu akrab sebenarnya tapi Ibu menyukai temannya bernama Karamina itu sampai-sampai ketika aku lahir dinamainya aku “Karamina”. Aku tidak keberatan dengan nama secantik itu, dan dari cerita-cerita Ibu yang meski tidak sering selalu seru untuk didengar, aku juga menyukai Karamina, teman lama Ibu itu.

Kami, aku dan pemilik asli nama ‘Karamina’ itu, pernah dua kali bertemu tapi aku tidak ingat. Ibu bilang waktu itu aku masih kecil sekali. Karamina, teman lama Ibu itu, tinggal jauh di pulau lain. Mereka, Ibu dan temannya Karamina, kenal bertahun-tahun yang lalu ketika Ibu kuliah di pulau itu. Karamina begitu mudah masuk ke semua pergaulan, kata Ibu. Temannya banyak, kata Ibu. Ia beruntung bisa menjadi salah satu teman Karamina, kata Ibu. Mungkin karena sifatnya yang ramah pada semua orang tanpa membeda-bedakan, mungkin bicaranya yang mengalir dan akrab, mungkin tertawanya yang menyenangkan. Continue reading

Sesuatu Yang Baru

Seingatku, sudah lama aku berhenti mempercayai sesuatu terlalu lama. Satu-satunya yang tetap adalah bagaimana aku menjalani hidup ini; berpindah-pindah dari satu hal ke hal lainnya. Dari satu tempat tinggal ke tempat tinggal lainnya, dari satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya, dari satu kenalan ke kenalan lainnya.

Ibuku mempercayai Ayah terlalu lama, dua puluh tujuh tahun, untuk apa? Aku menyimpan pengkhianatan Ayah sejak usiaku yang ke-tujuh, dua puluh tahun lamanya. Ayah dengan tanpa beban mengajak aku bertemu seorang wanita dan anak kecil dua tahun di bawah usiaku lalu memperkenalkan mereka sebagai ‘ini mama dan adik tapi jangan bilang-bilang Ibu ya’. Aku mengerti, Ibu memilih untuk pura-pura tidak mengerti. Continue reading

titik-titik

……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………

 

 

 

 

Sebenarnya aku tidak ingin memberimu tulisan atau apa-apa yang akan mengingatkanmu pada berulangnya tanggal yang sama di tahun yang berbeda. Sementara doa tentu saja bisa kuucap setiap kamu tiba-tiba ada di pikiranku, tak perlu menunggu hari tertentu.

Lucu, sebuah percakapan tentang kamu (yang tidak melibatkan kamu) mendatangi ingatan lagi dan lagi; “Dia, mau ngapain aja, yang baik, yang jelek, kita tetep sayang sama dia. Sayang yang tulus.”

Untuk Suryawan Wahyu Prasetyo

Amalia Achmad, 18 Januari 2012

Cerita dari Kampung Kami

Biar kuceritakan sebuah peristiwa, duduk-duduklah tenang di sana.

 

“Sudah Magrib… Cepatlah masuk… “ seruan itu hal yang jamak terdengar di kampung itu. Kampung kecil dengan rumah-rumah panggung besar dan halaman luas yang jumlahnya tak sampai sepuluh. Kampung dimana Ibuku dibesarkan, yang sekali-sekali kukunjungi menjelang Lebaran. Di rumah kami, enam jam perjalanan dari kampung ini, Ibuku pun kerap memekik gusar tiap kali sudah dekat waktu Magrib dan aku belum pulang. Dulu, kukira itu semata karena ia tak mau aku meninggalkan shalat dengan gampang. Sampai suatu hari di usiaku yang kedua-belas.

Continue reading