Mimpi Terakhir

Aku tak pernah tahu arti mimpi. Sebagian bilang, itu hanya bunga tidur. Sebagian lagi mengatakan, itu refleksi alam bawah sadar. Ada juga yang menyatakan mimpi adalah obsesi, firasat, pertanda, dan masih banyak definisi lain. Aku memilih meyakini yang terakhir. Mimpi adalah pertanda. Setidaknya, jika itu tentangmu. Jika aku bermimpi tentangmu. Subjektif memang.

***

Lima tahun lalu..

Continue reading

Pesan

Mimpi, aku yakin setiap orang pasti pernah bermimpi. Keluar sebentar dari alam kesadaran. Mengalami sensasi emosi yang begitu liar, emosi yang kemungkinan tidak pernah kita dapatkan ketika berada di alam kesadaran. Aku sendiri selama ini hanya pernah mengalami dua jenis mimpi (ini pembagian pribadiku), mimpi baik dan mimpi buruk. Dari dua jenis mimpi itu, beberapanya dapat aku ingat dengan sangat baik, beberapanya aku ingat samar-samar dan beberapanya lagi tidak dapat aku ingat lagi begitu aku sadar jika ternyata aku bermimpi.

Aku selalu tertidur dahulu sebelum bermimpi. Jika tidak dalam kondisi tidur, menurutku bukanlah mimpi itu namanya, tetapi gila. Continue reading

Mimpi | Karma

“Aku punya banyak mimpi. Salah satunya adalah hidup denganmu.”
Aku terkesiap mendengarnya. Sial, kenapa harus aku?! Dari sekian banyak lelaki yang kautemui dalam 22 tahun hidupmu, kenapa harus aku yang menerima pernyataaan itu?

Bahkan hidupku sendiri sangatlah absurd, bisa-bisanya kamu ‘menyerahkan’ mimpimu begitu saja padaku. Ini mengejek namanya, tak masuk di akal sehatku. Ini pasti ada yang salah. Continue reading

Agustus

Agustus sebelas tahun yang lalu aku berada di tempat ini. Sebuah ruangan yang penuh dengan kenangan masa lalu. Bukan pada sofa, perabot dan segala sesuatu yang mengisi ruangan ini. Namun kenangan-kenangan itu tersimpan pada ingatan penghuninya. Aku berada di sebuah panti wreda.

***

Oktober 2000

Hari ini ada karena mimpi seorang gadis 16 tahun pada waktu itu. Mimpi yang tetap menyala meski puluhan tahun berikutnya. Mimpi yang membuatnya bertahan dalam sisa hela nafas dan detak jantungnya.
Continue reading

Pertemuan Terakhir

081802404086. Ada tanggal lahirku di nomormu. Sejak itu, aku percaya bahwa kamu takdirku. Hei, di antara berjuta nomor di negeri ini, aku berkenalan dengan seseorang dengan tanggal lahirku pada nomor ponselnya. Wajar kan jika kemudian aku menganggapmu takdirku? Skenario Tuhan bermain sempurna dalam pertemuan kita.

Itu lima tahun lalu, dan lima tahun indah itu sudah usai, usang, tak ingin kuulang..

Back to reality then..

Bulan keduaku di kota ini, dan siapa sangka kisah usang itu kembali terulang. Dan oh wow.. Ternyata aku terjebak. Lebih parah, kamu kembali mengadiksiku seperti candu. Continue reading

Buku Ingatan

Seperti membuka sebuah buku ingatan. Membukanya mundur dari halaman terbelakang. Setiap halaman, setiap lembar, semakin jauh, menyajikan rentetan kenangan. Perjalanan hidup.

Beberapa lembar memberikan senyum dan tawa. Namun banyak juga terselip halaman duka, tangis, kecewa, serta amarah di antaranya.

Lalu kemudian makhluk itu muncul menghampiriku. Aku menyebutnya makhluk “seandainya”. Makhluk “seandainya” tidaklah sendirian, ada “penyesalan” yang mengikuti di belakang. “Penyesalan” memang selalu datang belakangan.

Aku harus waspada. Makhluk-makhluk itu tak boleh singgah terlalu lama. Sekali ku terlena bisa fatal akibatnya. Dunia kami berbeda. “Seandainya” hidup dalam dunia semu. Sebuah Continue reading

Aku dan Diriku

Awan mendung menyelimuti hati seorang anak di sudut halaman itu.

     “Hai!” sapaku ramah padanya. Wajahnya murung, sikapnya sangat tertutup. Dia menggeser badannya membelakangiku begitu sadar aku mendekatinya. Seolah ada sesuatu yang tabu terlihat olehku.

     “Kamu kenapa?” Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulutku.

     Ia hanya menjawab dengan kebisuan, tanpa kata.

    Ia menatapku sejenak, lalu kembali tertunduk ke tanah sambil melempar pandangan kosong ke dedauan kering di sela kedua kakinya.

     “Aku kecewa dengan Tuhan!”
Aku tercenung mendengar pernyataannya.

“Kenapa Dia menciptakanku seperti ini, tidak seperti anak lainnya?!” nada protes begitu kental terasa di sana.

     “Selama 21 tahun perjalanan hidupku, aku selalu dikungkung oleh aturan orang tuaku. Mereka selalu memaksakan kehendak mereka kepadaku,” semburat sedih terlihat jeals di wajahnya.

     “AKU MATI!!”

     “Hidupku tidak ‘hidup’, aku bosan!!” terasa hujaman sembilu di akhir ceritanya.

     Sejenak aku melihat dia. Secara fisik, ia sangat terpelihara. Kulitnya bersih, bajunya bagus. Sungguh kontras dengan jiwanya, gelap dan suram. Pandangannya kosong, jiwanya tak terlihat, jauh terkubur di dasar hati.

* * * * Continue reading