Jodoh

| Cinta itu seperti sepasang sepatu, mereka akan lancar
kalau jalan berbarengan. Saat bertemu kerikil pun,
mereka akan lebih kuat, karena saling menopang satu
dengan yang lain. karna cinta adalah dua jiwa yang
menyatu, satu hati meski dua raga.

SEPATU IMPIAN

“Anata wa nanida?” – kamu sedang apa?
Saya memang sering ditanya soal ini. Makanya saya ga heran saat Aya bertanya hal yang sama. Dia bukan orang pertama yang bertanya seperti itu ke saya.

Memfoto impian, seperti yang saya lakukan barusan. I did it for my dream shoes, Converse All Star warna ungu ukuran 38 USA di display salah satu toko fashion ternama di Shibuya, Tokyo. Saya suka apapun yang simple, dan sepatu ini benar-benar menarik hati saya. Masalahnya ini sepatu limitied edition. Jadi mau ga mau, saya harus mendapatkannya. Soal harganya yang fantastis, mendadak menjadi simple buat saya, ada caranya. Akhirnya saya ambil sepatu itu dan bergegas menuju kasir, bawa dia pulang dan bayar cicilan kartu kredit atasnya. Ngutang? No problemo. Daripada saya menyesal seumur hidup gara-gara keduluan orang lain yang ngambil sepatu itu, saya pilih berhutang. Uang bisa dicari, impian soal kepuasan hati.
Ya, saya adalah pemimpi, eit tapi saya bukan pengkhayal lho. Mimpi adalah gairah hidup saya. Saya bahkan membagi impian saya menjadi dua, impian jangka pendek dan jangka panjang. Kalau impian itu jangka pendek, saya cukup menjadikannya wallpaper di ponsel saya, namun kalau impian itu jangka panjang, saya akan mencetaknya dan memajangnya di dinding kamar apartemen saya, for reminder of course. Maklum manusia adalah tempatnya salah dan lupa. “Mimpi itu harus divisualisasikan, agar dia selalu terlihat dan teringat. Jadi kita selalu on the right track dalam mengejarnya” begitu kata Eldo dulu. Dan mulai saat itu, saya memfoto semua impian saya, termasuk dia.

***  

| To be there, there’s always long road to be passed.
Not all rich man can have it, because it’s not for sale.
It’s called home.

HOME

04.00 Waktu Jepang

Tereret… Tereret… Tereret.. Bumi bergetar hebat, perabotan di room saya berjatuhan, ada pesawat hercules mendaratkah di roof..?? eh tapi, kok ga berhenti-berhenti ni geter-geternya. Ini bukan pesawat, ini gempaaaaa!!!

Dalam keadaan setengah sadar, saya langsung mengambil gerak cepat. Saya ambil jaket, handphone, dompet dan ransel kecil berisi dokumen penting lalu bergegas keluar terbirit-birit. Saya berlari kencang sepanjang koridor. Wush.. wush.. wush.. lalu memelan, dan akhirnya berhenti. Kok sepi ya?

Aih.. Bego, saya lupa. Pantes saja orang-orang pada tenang, ini hanya gempa kecil buat mereka, dan gedung apartemen ini, yang saya tempati sudah menggunakan arsitektur cor lentur yang tahan gempa sampai dengan 6 SR. Kalau gempa sudah melewati 6 SR, maka warning alarm akan menyala, baru saat itu orang-orang akan melakukan apa yang saya lakukan, menyelamatkan diri dan berdoa sepenuh hati. Yap, teknologi tetap ada batasnyanya. Saya mah reflek aja lari, saat sadar ini gempa. Wajarlah, mengingat pengalaman gempa di Jogja dulu begitu lekat di benak saya.

Bertahun lalu…

“Sa.. Frisaaa….” ada suara terdengar samar-samar di telinga saya. Putih, hanya itu yang terlihat. “Frisaaa….” seperti ada yang menggelendot di tangan saya. Ayah? Saya melihat ayah saya berbaju putih, tersenyum manis kepada saya. Matanya berbinar, namun Beliau semakin berjalan menjauh dari saya. Ayah mau ke mana?, teriak saya ke ayah. Namun ayah hanya tersenyum, sambil melambaikan tangannya. “Frisaaa… kamu sudah sadar?” perlahan-lahan kabut putih mulai memudar, saya mulai bisa merasakan tangan saya sepenuhnya, jari saya digenggam erat, hangat.

Saya melihat wajah Eldo di bawah sinar lampu terang di atasnya.

“Saya di mana?”

“Di rumah sakit sa, lo koma dua hari.”

“Saya kenapa?”

“Ntar gue jelasin. Sekarang lo makan dulu. Gue suapin ya, lo belum kemasukan makanan dua hari terakhir ini.”

Menurut cerita Eldo, saya pingsan.Baru berhasil dievakuasi setelah tertimbun reruntuhan selama 48 jam. Beruntung saya terlindung meja kokoh punya ibu yang saya bawa dari rumah. Saya berlindung di kolong meja itu, sambil mendekap pigura foto keluarga.

Gempa 27 Mei 2006, menyisakan duka mendalam di hati saya. Saya kehilangan ayah tercinta. Beliau tertimpa tembok dapur rumah saat menyelamatkan Icha, keponakan mungilnya yang masih tidur di ranjang bayi. Icha dan Ayah terjebak di reruntuhan rumah dua lantai kami. Jenazah keduanya baru ditemukan dua hari setelah saya dievakuasi.

Saya sangat terpukul atas kejadian itu. Ayah tercinta saya. Bagi saya ia adalah ayah terbaik yang pernah saya kenal. Saya kenal dekat dengannya, sangat dekat. Ayahlah yang mengajar saya mengaji, menuntun saya naik sepeda roda empat, menggendong saya di pundaknya saat kumpul reuni keluarga. Setelah dewasapun, saya selalu cerita apa-apa tentang saya ke ayah, dari PR, temen sekolah, sahabat, guru yang nyebelin sampai tentang Eldo. Saya ceritakan semua. Ayah adalah sahabat terbaik saya. Beliau seperti bisa membaca saya. Apa-apa yang saya rasakan, tanpa saya cerita, ayah sudah bisa menebaknya dan memulai percakapan atas masalah saya. Bahkan saya sempat berpikir, ayah adalah malaikat yang ditugaskan untuk menjaga saya. Singkat cerita, ayah adalah segalanya buat saya. Dan bencana gempa Jogja bertahun lalu, memisahkan saya dengan ayah, my everything.

 “Are you okey?”

Ternyata Aya sudah ada lama di depan saya, mengamati saya yang sedang melamun dari tadi. Saya memandang Aya, namun bulir bening mengalir hangat di pipi saya. Hal ini selalu terjadi setiap kali saya ingat ayah. Saya berada di depan pintu apartemen dan tanpa sadar, saya sudah memegang dompet, memandang foto ayah di dompet saya. ya Allah, saya sudah lama sekali tidak ziarah ke makam ayah, saya kangen beliau.

“I wanna go home.”

***

 | Aku merasakan-Nya, Tuhan melihatku dari sana.

Senja Biru

Sudah Lama Saya tidak pulang, tepatnya 2 tahun terakhir ini. Sejak saya ditempatkan di KBRI Jepang, tinggal di apartemen dan menikah.

Anywayyyy…. Saya ga menyangka, i’m married now, being a wife of somebody.

Fikry, suami saya ada di Jakarta sekarang, dia salah satu pengusaha restoran sukses di tanah air, orang tua Fikry adalah sahabat bunda waktu sekolah dulu. Dari sanalah perjodohan kami bermula.

Nduk, tante Mirna dan Om Iwan semalam datang ke rumah. Mereka menanyakanmu.” 

“Maksud Bunda?”

“Mereka menanyakan apakah Frisa sudah punya pacar atau calon suami.”

“Lalu, Bun?”

“Bunda menceritakan apa adanya.”

“Frisa tahu kan, mereka berdua adalah sahabat bunda. Anak mereka, Fikry sudah Bunda anggap seperti anak bunda sendiri.”

“Fikry dan orang tuanya ingin mengenal Frisa lebih dekat.”

Saya tak menyahut, hanya menyimak apa yang disampaikan bunda. Lamat-lamat saya paham ke mana arah pembicaraan bunda. Perjodohan.

Saya ingat nama Fikry, tapi saya tidak mengenal dekat pemilik nama itu, karena sejak SMA saya tinggal di Jogja, ikut ayah. Bunda di Jakarta. Ya, Orang tua saya bercerai saat saya berumur 16 tahun. Saya tidak tahu persis kenapa mereka berdua pisah, “Nanti saat Frisa dewasa, Frisa akan paham,” begitu kata ayah dulu. Ayah bunda ga pernah cerita sebab perceraian mereka. Kata orang-orang, bunda menggugat cerai ayah karena uang dan gengsi. Bunda bekerja di bank, seiring waktu karir bunda semakin melejit, begitu pula dengan gaji bunda. Sedangkan Ayah adalah Dosen, Dosen yang jujur. Penghasilan ayah hanyalah dari gaji dan beberapa proyek dosen yang ayah ambil eventual, ga tentu. Ayah ga akan mangkir dari mengajar karena mengerjakan proyek yang memang sebenarnya pekerjaan sambilan. Pekerjaan adalah amanah, itu yang selalu ayah bilang ke saya. Saya tidak paham persis ceritanya bagaimana, lagi pula ga penting juga untuk saya ketahui. Buat saya, Ayah dan Bunda adalah orang tua terbaik yang saya miliki, terserah orang berkata apa.

“ini cincin kawinmu, nduk.” Karena saya tidak bisa sering pulang ke tanah air, saya dan Fikry cuma dua kali bertemu sebelum hari H pernikahan. Sisanya sudah disiapkan oleh bunda, Fikry dan orang tua Fikry. And here i’am  now, kalau di rapat ibu-ibu PKK, nama saya bukan lagi Frisa tapi Ibu Fikry. Auch!

Buat saya, pernikahan adalah mozaik kehidupan. Itu pemahaman yang saya tanamkan di diri saya. Kalau kita melihatnya dari jarak dekat, akan terlihat absurd, ga jelas polanya. Tapi kalau kita melihat dari jarak yang semestinya, maka ia akan menjadi satu rangkaian yang indah. Mungkin pandangan saya tentang perjodohan saya yang berlanjut pernikahan dengan Fickry masih sebatas pandangan jarak dekat, jadi wajar kalau saya masih melihatnya sebagai sesuatu yang absurd, keengganan, komunikasi yang masih kacau. Wajarlah, karena kami belum pernah mengenal satu sama lain sebelum menikah dan setelah menikah, kami terpisah jarak. Namun saya yakin, suatu saat nanti akan tiba masa di mana kami akhirnya akan saling mengenal dan memahami. Mampu memandang pernikahan kami sebagai mozaik kehidupan yang indah dan abadi. Nanti, saya yakin saat itu akan tiba.

Okey, that was the story of me being a wife. Oya, ngomongin tentang masa kecil dan pernikahan. Waktu kecil saya sering bermain pengantin-pengantinan, seru aja gitu dulu. Siapa yang jadi bapak, siapa yang jadi ibu dan siapa yang jadi anak. Those moment in childhood leaves a great memory, unforgertable absolutely. Sampai sekarang ini masih menjadi misteri, bahwa kenangan masa kecil begitu kuat dibanding kenangan masa sekarang. Banyak sekali detail kejadian masa kecil yang mampu saya ingat. Beda banget sama sekarang, saya pelupa akut.  

Dulu saya dan teman-teman sering bermain bersama, di halaman belakang rumah. Entah main tanah liat, pasaran, betengan, gobak sodor, bola bekel, dan ya itu main pengantin. Saat bermain pengantin-pengantinan, saya selalu berpasangan dengan Eldo. Ya, Eldo adalah bagian dari childhood saya. Rumah kami besebelahan malahan. “Ga bosen apa ketemu terus dari kecil sampai sma?” teman-teman sering bertanya hal itu. Maklum sih, saya sudah barengan Edo dari saya duduk di TK sampai kelas 3 SMA. Bosen? Saya ga pernah merasakannya sama Eldo. For me, He’s always fresh. Eldo adalah sosok yang tak tertebak, dari dulu.

Pernah dulu suatu ketika waktu kelas 5 SD, dia mengajak saya ke rumahnya. Eldo membawa serta buku gambar warna hijau bergambar mickey mouse dan sekotak pensil warna bersamanya.

“Aku tutup matamu ya, Sa” saya masih ingat betul suara Eldo kecil dulu.

“Kenapa sih?”

“Sudaaahh ah, ayok nurut saja” Eldo kecil menutup mata saya dengan tangannya. Lalu mengiringi saya dari belakang, berjalan pelan.

Tap… tap… tap… setelah banyak langkah, akhirnya kami berhenti.

“Sudah boleh dibuka beluumm?” tanya saya heran.

“Belum. Tunggu sebentar lagi ya, sebentar saja”

“satu….”

“dua…”

“tiga!”

Eldo kecil melepas tangannya perlahan. Saya mengerjap-ngerjapkan mata, pandangan kabur saya mulai menyatu.

Biru.

“……”

Saya berada di jemuran terbuka di lantai dua rumahnya, angin semilir membelai lembut rambut panjang saya. Matahari terbenam. Indah sekali. Saya sering pulang sore dari les, saya pun sering melihat matahari terbenam. Namun sunset ini beda, ia tak berwana jingga seperti biasanya. Ia berwarna biru. Sunset in the blue!

Belum usai.

Eldo lalu memberikan buku gambarnya kepada saya. “Pegang ini di depanmu persis,” Saya menerima dengan heran tentu saja. “Sekarang buka sampulnya.” Saya menurut saja.

“…..”

Kontan senyum saya mengembang. Saya memegang gambar sketsa pensil, dan kamu tahu? itu adalah sketsa pemandangan sunset di depan saya tadi. Persis sekali. Di bagian langitnya pun sewarna. Eldo mengarsir langit dengan pensil  gambar warna biru muda gimana gitu. That was so real.

“kamu suka?”

“Sekali, suka sekali”

“Gambar ini buat kamu”

“……”

“Iya, aku bikin ini untukmu… tapi aku belum beri judul gambar ini”

“Sini biar aku saja”

Saya mengambil pensil wana biru di tangannya, lalu menggores pelan-pelan kertas sketsa di tangan saya itu.

SENJA BIRU.

Itu judul yang saya buat, hadiah Eldo untuk saya. Sebuah sketsa senja.

Eldo adalah seorang teman, sahabat, saudara buat saya. Walaupun ada perasaan lain tentangnya, tapi takdir Tuhan tidak mengijinkan kami untuk lebih daripada itu. Sketsa senja yang dia berikan dulu, masih saya simpan rapi di buku tempel saya. Masih suka saya buka saat saya kangen rumah. Iya, Eldo adalah rumah kedua saya, terlebih setelah ayah tiada. Eldo, pengantin masa kecil saya, rumah kedua saya tapi bukan suami saya.

***

| Batangan rel tak akan mampu menahan laju kereta,
kalau tak ada penambat di sampingnya. Sama halnya dengan
pria, ia takkan kuat menahan berat beban hidupnya, kalau
tak ada wanita yang menguatkannya.

 Being Old!

Dalam gelap….

PLAAAK! Dari sisi kiri, sesuatu yang dingin lembek menghantam pipi kiri gue.

“woiiiiii!!!”

BRUUURRR! Dari sisi kanan, seperti taburan pekat betebaran di muka gue.

“Ei.. Ei.. ei..”

PLOK! PLOK! PLOK! Dari depan, gue dijadiin sasaran tembak.

“Ush.. Ush.. Ush..”

BYUUUURRRR!!! Dari atas, gue disiram pake air yang err… busuk banget baunya.

“Aiiiff, af.. af… afa-afa’an ini?!!” tangan gue ke mana-mana, mulut terbatuk-batuk, gue mencoba menghindari serangan.

 

Gue bukan lagi masuk ke arena gladi resik perang dunia III kan? Perasaan tadi gue bener masuk tenda gue. Tapi kok?!

pet.. pet.. pet… Cling.

“Taraaaa!!!” sorak sorai membahana.

“Dul, Sugeng Ambal Warso yo” tersangka 1, Tejo. Bagian Teknis. Wong ndeso yang sialnya kebawa ekspedisi ini. Seneng buat dia, sedih buat kami. It’s faith, sudahlah.

“Nyet, Selamat tambah tua yak!” tersangka 2, Gugun bangke. Ilustrator. Muka culun tapi selalu merasa ganteng. Sumpah deh Gun, defini ganteng itu jauuhh bener dari lo. Pengen gue kado cermin portable ukuran jumbo deh dia besok pas ultah.

“Kribo!! Cieh.. Cieh.. Baru ni yee… umurnyaaa!!” tersangka 3, Fulan. Penulis lepas. Entah definisi dia cowok atau cewek, seringnya ga jelas. Namanyapun ambigu. Mbak Fulan, mas Fulan. Semua cocok. Pake jeans belel, slayer, rambut spike, namun mengaku sebagai cewek, trust me, It’s hard to believed. Meyakini Fulan sebagai cewek sama susahnya dengan sisiran pakai kaki. By the way, gue ga kribo, itu bisa-bisanya Fulan doang. percaya Fulan, musyrik!!

Eil,  Welcoming thirties, ha?” tersangka 4, Carolina. Bule Argentina yang ga pernah bener manggil nama gue. Traveler writer yang hidup dari nulis dan jalan-jalan, hidup nomaden. Gue sering iri sama kerjaan dia, dream job banget dah.

Dan terakhir..

“Eldoooo, Happy Birthdayyyyy!!!” tersangka 5, Ocha. Fotografer Landscape sekaligus kapten team. Gadis cantik (banget) yang sedihnya tersesat di kalangan berandal minim adab ini. Ocha bagai oase dalam team absurd ini. Tuhan memang adil ya, selalu ada keharmonisan di dunia. Ocha menjadi penyeimbang dari dunia ganjil anak-anak ini.

“Gila kalian!”

“Untung lampu segera nyala, klo ga udah gue tabok membabibuta kalian.”

“Ini udah nyala, trus gimana masih mau nabok?”

“Ga, sekarang malah mau nyipok. Sini Gun, lo duluan.”

“Aish, Najong!!!”

30 tahun. Yaah, suka ga suka. Hari ini gue resmi berumur kepala tiga. Gue berasa semakin tua. Target gue meleset, padahal gue menargetkan umur 27 adalah maksimal gue melepas masa lajang. Tapi ternyata Tuhan berkehendak lain. Hati gue cenderung idealis daripada kompromis, sosok Frisa belum sepenuhnya hilang dari hati gue. Iya, gue tahu, dia sudah menikah, dengan orang lain. She’s belong to another sekarang. Tapi lebih baik gue jadi diri sendiri kan daripada mencari pelarian hati ke wanita lain yang gue ga cinta, kurang ajar banget gue kalau gitu.

Syukurlah gue menemukan orang-orang ini. Tejo, Gugun, Fulan, Carolina can Ocha. Tuhan selalu tahu apa yang gue butuhin. Dia memberikan gue warna saat hati gue kosong pasca pernikahan Frisa, oke, bukan kosong, patah lebih tepatnya. Auch!

By the way, mari kita lupakan sejenak tentang masa lalu. Sekarang gue berada di tenda rombongan ekspedisi. Gue masih di Bolivia. Hasil hunting gue di Cal O’rko kemaren sudah gue kirim ke kantor by email. Gue tinggal nunggu hasil sortingan office, mana hasil bidikan gue yang akan dipakai untuk NG ( National Geographic ) terbitan bulan depan, mana yang jadi stock archieve.

“Baakkk..!!!” Ocha tiba-tiba dateng dari belakang, ngagetin gue.

“Aih, sialan lo cha”

“Di hutan gini ngelamun, kesambet setan amazon baru tau rasa kamu”

”Yaaa mana mungkin?! Orang setannya sekarang duduk di sebelah gue.”

“Hiyaaahh…” Ocha menoyor pipi gue.

“….”

“Lagi mikirin apa sih?”

“Ehm.. Jatah hidup gue.”

“Udaah, being old itu wajar kok Do.”

“Yeah, I know. But it’s different when you’re stepping on 30thies and have no one to share your life with. A wife i mean.

“….”

“Pertanyaan itu kini makin kerap dilontarkan bokap nyokap gue, Cha. Do, kapan nikah? 

“Lalu kamu bingung?”

“Iya. Buat gue mungkin belum jadi masalah berarti. Tapi buat bonyok gue, ini adalah penantian buat mereka. Mereka sudah usia lanjut, Cha.”

“Rasanya seperti hantaman keras di hati gue saat mereka bilang, sebelum papa mama ga ada Do, kami ingin melihatmu menikah, anak kami satu-satunya. Syukur kalau kami diberi kesempatan Tuhan untuk bisa menimang anak kamu Do, cucu pertama kami. ”

“…..”

“Kamu masih belum bisa melupakannya ya, Do?”

“Frisa? Iya, banyangannya sudah terlalu lekat di benak gue.”

“Papa mamamu gimana dulu, saat mengetahui Frisa menikah?”

“Beliau berdua paham. Bahkan merekalah yang dulu paling berperan menguatkan gue.”

“Eldo tahu kan, Tuhan menciptakan dunia ini dengan keragaman. Tuhan tak selalu kasih apa yang kita pengen, karena Tuhan lebih paham diri kita daripada kita sendiri. Eldo harus tetap percaya sama Tuhan, Dia selalu punya kejutan dalam setiap inci perjalanan hidup kita, termasuk hidup Eldo. Begitu papa dan mama bilang dulu.”

“Sabar ya Do, aku yakin wanita beruntung itu sedang menunggumu dalam kerinduan. Wanita yang Tuhan pilihkan untukmu. Sesuatu yang susah didapat biasanya susah dilepas. Tuhan pasti memilihkan  wanita yang spesial untukmu. Tuhan sedang bekerja di sana,” Ocha mendongak ke langit. Gue melakukan hal yang sama.

Langit malam itu sangat cerah, ribuan bintang seperti terpatri hidup di sana, laksana lampu surga mereka kelap-kelip dengan cara yang unik. Tuhan sedang bekerja di sana.

Gue memandang Ocha. Gadis ini, dia seperti nyokap gue. Mampu menghadirkan kehangatan, bukan cuma buat gue, namun buat anak-anak satu team kami. Dia ga hanya sekedar kapten team, namun juga sahabat, teman dan kakak dalam satu paket.

Ocha adalah satu-satunya orang di team ini yang tahu masa lalu gue, Frisa. Masa lalu yang masih membayang lekat di benak gue. Ocha tempat gue sharing, tak hanya soal pekerjaan, namun juga kehidupan.

“Masuk yuk! Anak-anak udah nungguin tuh buat foto bareng di sini. Besok pagi-pagi kan kita harus segera melanjutkan ekspedisi ke danau Titicaca. Schedule kita masih banyak.There’re so many amazing things waiting for us to captured.”  Ocha menggamit tangan gue.

“Eldo… Eldo harus selalu ingat ya. Tuhan tidak tidur, Dia sedang melihat Eldo. Tuhan ingin tahu apakah Eldo bisa melewati semua ini atau tidak.” Ocha berbisik pelan, namun matanya tegas memandang.

***

 

 | looking for fun? it's in the corner, right beside you!
  kadang kita hanya sibuk mencari. Padahal harusnya kita
  sudah menyadari, bahwa kita sudah punya (kebahagiaan) 

Jodoh, ke mana aja gue?

Inget iklan di salah satu stasiun TV swasta dulu? pasar terapung. Sebagai negara kepulauan, wajar kalau kita memiliki beberapa pasar terapung, yang terkenal antara lain  Pasar Terapung Muara Kuin di Banjarmasin dan Pasar Terapung Lok Baintan di Sungai Tabuk, Banjar. Mereka biasanya menggunakan jukung (perahu tradisional) atau Klotok (perahu motor) sebagai lapak mereka. Di beberapa negara lain juga terdapat pasar terapung yaitu di Vietnam, Kamboja dan Thailand. Bahkan Thailand mengemas secara apik pasar terapungnya di sana melalui rangkain video pendek bertajuk Hearing The Sunshine di youtube sebagai viral promo wisata mereka.

Di sini, Danau Titicaca di sebeah perbatasan antara Peru dan Bolivia juga terdapat sesuatu yang terapung. Bukan pasar, namun kehidupan. Desa terapung di danau Titicaca, danau tertinggi di dunia. Mereka adalah suku Uros. Awal terbentuknya Desa terapung ini adalah karena perang yang tak kunjung berakhir. Mereka yang terdesak oleh para agresor, melarikan diri dan berlindung ke tengah danau Titicaca ini. Mereka membuat peradaban di sini. Percaya atau tidak, mereka hidup di atas ilalang. Pulau terapung ini, dibuat dengan tangan secara teliti, pedesaan terapung ini disusun dari lapisan-lapisan rumput ilalang tortora yang dijadikan satu dan diikatkan ke suatu struktur dasar agar dapat terapung, seperti ponton. Hasilnya adalah seperti kapal rakit raksasa, dan hebatnya mampu menahan beban yang berat dan besar.

Pulau-pulau ini sebenarnya cukup mutakhir dan bisa menopang beban yang sangat berat tetapi juga harus diperbaiki secara berkala untuk memelihara kekuatannya. Ketika ilalang-ilalang tua mulai terlepas dari struktur dasarnya, ilalang-ilalang baru menggantikannya di permukaannya. Rumput-rumput ilalang ini diambil dengan hati-hati dari pinggiran danau Titicaca. Pulau-pulau ini ditambatkan di tempatnya dengan tali-tali yang diikatkan ke tiang-tiang kayu dari dasar danau.

“Good Morning guys, today we’re going to capture beautiful story in here. Take it to your note, recorder and camera. The direction as we know is relevant to humanity, just like we’ve discussed last night. Any questions?” Ocha membuka briefing pagi.

“……”

“We got it, Captain!”  Fulan, ngacungin jempol.

“Siap!” Gue, menghentakkan kaki ala tentara.

“Estoy Listo, el maestro!” Carolina, jempol dan telunjuk menyatu, tiga jari lain njepat ke udara.

“Sendiko Dawuh, juragan..” Tejo, manggut-manggut menirukan abdi dalem keraton.

“Wis ra sah kesuwen, dab!” Gugun, ngusap idung dengan jempol. Gaya rambho dia bilang.

Ocha tersenyum “Okey. Bring the best you can do, and remember always include your heart to all the thing you do. c’mon move move move!!”

Demikian briefing singkat kami pagi ini, yang tentu dilakukan setiap pagi, untuk memastikan semua kegiatan on the track dan on scheduled. Kami ga bisa lama-lama, namun harus membawa hasil yang terbaik, seperti halnya jodoh, Auch!! Sialkata ini selalu terbawa ke manapun jalan pikiran gue. Jodoh.

Danau Titicaca merupakan danau tertinggi di dunia dengan ketinggian 3821 m dpl. Danau Titicaca juga merupakan danau terbesar di Amerika Selatan. Danau Titicaca terletak di pegunungan Andes. Oya, kemarin Cal O’rko juga merupakan largest collection of dinosaur footprints in the world.

Danau tertingi di dunia, jalan termaut di dunia, koleksi dinosaur footprints terbesar di dunia. See? Bolivia mempunyai banyak koleksi ter- atau paling. Kalau boleh meminta, gue pun tak keberatan kalau menemukan wanita terbaik di sini.  Tercantik, terseksi, termanis, teerr… alah, terima sajalah, apapun Jodoh yang dikasih Tuhan ke gue.

“Kriboooo, buruan ah!!” Fulan nunjuk-nunjuk pantat gue pake tongkat.

“Iyaaaaaa, bawel.!!”

Kami menyemut, mengantri sampan untuk menyeberang. Begitu sampai di desa terapung, kami menyebar, tenggelam dengan kegiatan masing-masing, sibuk dengan dunianya. Saya? Masih multitasking, bergumul dengan kamera dan ribet dengan hati. Crap!

JEPRET!! JEPRET!! JEPRET!!

JEPRET!!

Gue membidik sampan ilalang, rumah ilalang, anak desa setempat dan jepretan terakhir, Ocha! Persis saat dia membidikkan kamera ke landscape danau Titicaca. Gue tertegun mengamati display kamera, hasil yang gue captured barusan, the last one.

Foto ini..  Ocha, keibuan, sosok yang hangat, cantik (banget), dan Katholik. Eh, ke mana aja gue?

(*) foto-foto diambil dari : tumblr dan flickr

Candra Aji, November 2011

10 thoughts on “Jodoh

  1. Kunjungan pertama dan saya jatuh cinta dengan tulisan ini. Karakter Eldo dapat banget dibanding Frisa, (yaiayalah, yg nulis cowok) hehehe…
    Saya yakin tulisan ini dibikin pake riset dulu, iya kan? 😉

    • Riset kecil2an mbak. Google punya segalanya kok, tinggal dipilih-pilih.hehe..
      Dari kunjungan pertama ini, kami beri salam, “Silahkan datang kembali!” 😀 #halah

  2. Pingback: Kubikel Cinta | Kopi Manis Tanpa Gula

Leave a reply to kartika.putri.indriati@gmail.com Cancel reply